Kamis, 11 Desember 2014

TRIP : SUMBING MOUNTAIN!

Menceritakan perjalanan yang telah 3 bulan dijalani butuh daya ingat yang kuat. Mencoba masuk kembali ke dalam perasaan ketika itu untuk menceritakannya kembali kepada publik melalui blog ini, kami berempat duduk manis depan laptop di sebuah ruangan dalam rumah, hirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata :


Satu, dua, dan tiga…




Jumat, dua puluh sembilan agustus 2014, kami berangkat dari rumah masing-masing menuju Stasiun Senen sebagai titik kumpul pukul 05.00 pagi. Tiga di antara kami menampakkan muka sebelum pukul 05.45, artinya 25 menit lagi kereta menuju Stasiun Tawang Semarang akan berangkat. Sepuluh menit kemudian, (karena keretanya telah datang) kami masuk ke ruang tunggu dalam Stasiun. Perasaan was-was dengan mimik 3 muka orang sekaligus : cemas, heran, dan maklum.

Sebelumnya, perkenalkan kami berempat yang berencana hiking ke Gunung Sumbing Jawa Tengah ialah Sydiq, Bani, Eko, dan Erdy. Berempat sudah kenal lama, tahu kebiasaan dan biasa ketahuan. Kedudukan sosial kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang nama kami. Sekali lagi, kedudukan sosial kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang nama kami. Hal tersebut perlu kami tekankan, mengapa? Salah satu ukuran mengukur predikat kesarjanaan tersebut adalah manajemen –dalam hal ini, manajemen waktu-.

Erdy dengan mimik cemasnya, Sydiq dengan mimik herannya, dan Bani dengan mimik maklumnya. Yah, jadi ketahuan deh Sarjana Ekonomi yang manajemen waktunya dapet nilai E : Eko. Pukul 06.05 WIB, kami menunggu di pagar pembatas (layaknya film-film) lalu oleh petugas diminta masuk ke dalam kereta, kami pun harus meninggalkan Eko, Kereta Api Ekonomi Tawang Jaya pun berangkat. Dalam perjalanan, kami terus berkomunikasi dengan Eko dan menyarankan menyusul menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusumah. Komunikasi pun berlangsung misterius, karena berlangsung satu arah seolah-olah kami bertiga pingin bingit die ikut.. (Uek)

Tiba di Stasiun Tawang Jaya pukul 13.30 WIB, berharap Eko akan menyambut kedatangan kami (ya elah, die ketinggalan keleuss). Kami bertiga makan di dekat Stasiun, komunikasi dengan Eko menemukan hasil. Ia berangkat pukul 14.00 menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Semarang. Kereeeennnn…. Kami janjian di Terminal Terboyo, Semarang. Dari Stasiun Tawang ke Terminal Terboyo menggunakan bus dengan biaya Rp. 7000/org, sementara Eko entah naik apa.

Di Terminal Terboyo, detik-detik mengharukan terjadi. Kami berempat saling mencari, berteriak nama satu sama lain, dan akhirnya ketemu, dah. (oi penulis, dimane mengharukannye? cerita lu datar anjrit..)

Tidak lama bincang sapa, bus tujuan Wonosobo pun muncul dan kami melangkah dengan pasti menaikinya. Kini, kami komplit, berempat! Perjalanan memakan waktu 3-4 jam, beberapa kali kami tertidur, dan di sebuah pemberhentian (saat sudah malam), kami hendak makan, siapa sangka bus juga akan segera jalan, kami batal makan, apa hendak dikata. Kami saran untuk anda yang menggunakan bus terminal terboyo menuju wonosobo untuk siapkan cemilan atau makanan. Sopir dan kenek bus tersebut akan menegaskan kembali tujuan anda kemana : Gunung Sindoro atau Gunung Sumbing? Karena dua gunung tersebut yang berdekatan, namun lokasi basecamp yang berbeda dan agak jauh membuat kenek menanyakan kembali kepada kami saat perjalanan sudah mendekati lokasi.

Kami tiba sekitar pukul 21.00 WIB dan masih harus berjalan kaki 500m untuk lapor diri di basecamp pos pendaftaran Gunung Sumbing. Beberapa pendaki yang ingin mendaki terlihat di situ, jumlahnya tidak banyak. Kami sempatkan packing ulang dan mempersiapkan diri, sementara Sydiq mendaftarkan data kami berempat. Petugas meminta kami untuk membawa minuman minimal 2 botol 1 liter per orang karena pendaki tidak akan menemukan sumber air selain membawanya dari bawah.





Setelah siap dan berdoa, perjalanan dimulai. Waktu sudah larut, jam di tangan menunjukkan pukul 22.30 WIB. Ditemani bintang yang terang di langit, kami menyusuri jalanan rapih bebatuan yang cukup dilintasi 1 buah mobil. Sisi kiri dan kanan adalah perkebunan warga sekitar Dusun. Perjalanan kami seperti tidak sampai-sampai, langkah demi langkah yang kami jejakkan, seperti melambat di tengah kegelapan. Sebabnya satu : Sydiq yang semakin gemuk.

Pukul 01.45 WIB, kami sampai di POS I. Kami putuskan mendirikan tenda untuk tidur menunggu pagi. Semua lelap tidur dalam dingin yang merasuk dari kaki hingga ke sukma (opo coba..) Pagi memanggil, kami satu per satu bangun. Tidak lama dari bangun, kami –tanpa sarapan- langsung gegas melanjutkan perjalanan. Erdy dan Sydiq jalan lebih dahulu, sementara Bani dan Eko membereskan tenda dan akan menyusul.





Waktu tempuh perjalanan POS I ke POS 2 dicapai dalam ± 2 jam dengan track yang kecil sedikit menanjak dan tanah. Di beberapa titik, kami menemukan jalan bercabang, namun sebetulnya akan mencapai satu titik yang sama. Kami berempat bertemu di POS 2. Di pos ini, kami sempatkan makan mie untuk mengisi perut dan menyisakan air minum 1 liter di tempat tersembunyi untuk logistik turun kemudian.



Perjalanan berat sesungguhnya ada di POS 2 ke POS 3. Kami dijejali track menanjak penuh pasir berdebu. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat panas dan debu menjadi teman yang baik untuk kami selama mendaki Gunung Sumbing. Beberapa kali, eh sering deh, lutut kami dekat sekali dengan hidung. Track yang sama untuk naik dan turun membuat jalur ini harus dilalui bergiliran karena menghindari debu. Sampai di titik track penuh pasir ini selesai, kami berisitirahat menurunkan carriel-carriel kami. Wajah kotor dan sedikit noda hitam semakin memeriahkan pendakian ini. Dari titik tempat kami beristirahat, tidak memakan waktu yang lama sampai di POS III.





Kami memilih melanjutkan perjalanan untuk sampai di POS PESTAN. Setibanya kami disana, kami mendirikan tenda siang hari bolong. Diskusi pemikir alam digelar di tenda berkapasitas 4 orang ini. Temanya membahas kelanjutan perjalanan pendakian ini. Rencana awal kami adalah tiba di Puncak Gunung Sumbing sore hari, lalu melanjutkan perjalanan pendakian ke Gunung Prau. Namun, rencana tinggal rencana, keterbatasan fisik dan kebersamaan menjadi pertimbangan dalam memutuskan : siang ini sampai minggu dini hari menyerap energy alam alias tidur.

Nah, di sore harinya kami bangun dan keluar tenda untuk foto-foto dengan view yang indah dipandang. Secara bergantian, kami saling foto dan minta tolong pendaki lain mengambil foto kami. Tidak habis pikir, muncul dari tenda kami, seorang PNS pakai peci berseragam KORPRI lari-larian minta difoto! #miring



Pukul 02.00 WIB, kami bangun dan melanjutkan perjalanan tanpa carriel yang kami tinggal dalam tenda. Dengan bekal senter dan tameng baju hangat, kami melangkah. Tanpa carriel, aseli rasanya kok beda betul dengan mendaki pakai carriel. Ini fakta yang susah dijelaskan, yang hanya bisa dirasakan.. Perjalanan kami agak lebih cepat dari saat membawa carriel. Kami tidak lagi menemukan track tanah yang di sisi kanan dan kiri pepohonan, kali ini track dipenuhi batu-batu besar, khususnya selepas Pos Pasar Watu.

Kami sampai di Puncak Buntu Gunung Sumbing 3371 mdpl pukul 06.30 WIB. Rasa lelah kami terbayar dengan indahnya pemandangan. Seksinya Gunung Sindoro dan geliat goda Gunung Slamet menepis keluh kami. Beberapa ucapan terlintas di kepala kami sebagai bukti jalinan persaudaraan tetap kekal tidak tertinggal di track terjal. Bani, sang pecinta wanita memulai rangkaian pesannya dengan beberapa jepretan foto. Diiringi beberapa rekam backsong di ingatan, kisah Bani mendaki dengan segudang harapan akhir penantian panjang cintanya digambarkan di cerita ini :


Kami menemukan energi puncak Sumbing saat perjalanan turun, kecuali Sydiq. Kami berlarian, melompat ke sisi kiri dan kanan dengan pijakan kaki yang kuat, senang dan bahagia mengiringi. Dari POS PASAR WATU, track ternyata adalah tanah merah lapang dengan di satu sisi jalan bebatuan. Dengan hati-hati, kami tetap sedikit berlari dan sesekali menjatuhkan diri layaknya pemain film action. Bertahap sampai tenda yaitu Bani, Eko, Erdy, dan …… Sydiq.

Di tenda, kami kehabisan air minum. Beruntung, ada pendaki yang dengan ikhlasnya memberikan air minum sebagai amunisi kami di perjalanan turun. Kami turun pukul ± 12.00 siang dan harus melalui track tanah pasir penuh debu. Beberapa kali kami sengaja tempelkan pantat untuk merosot supaya lebih cepat sampai. Hahahaaa..

Tidak terasa, turun lebih cepat daripada naik (ya iyalah..) Kami sampai di POS I sore hari. Terbentang di mata kami, perjalanan POS I ke Basecamp kan jauh masih panjang. Dan, beberapa pendaki yang sampai di POS I, memilih naik ojek trail untuk sampai di basecamp. Dilema menghampiri kami : NAIK OJEK atau JALAN KAKI.. Sebagai pendaki laki-laki, kami malu memiliki pemikiran untuk menyelesaikan pendakian dengan cara naik ojek. Hufhh… Mungkin, kami lelah..

Kami sampai di Basecamp pukul 18.00 WIB tepat adzan berkumandang. Bergantian, kami bersih-bersih (tidak mandi) dan makan nasi rames yang seperti lama tidak kami jumpai. Dalam bincang santap malam ini, kami heran : “Mengapa kami bisa mendaki Gunung Sumbing ya? Dengan track dan kemarau yang sedang menetap...”
Di titik ini, kami sebut keheranan ini dengan Panggilan Semesta.
Terima kasih, semesta..

Senin pagi hari 1 September 2014, menyusuri Desa Garung, seluruh penduduknya sepertinya dipekerjakan salah satu produsen rokok karena secara serempak dan sesuai kelompoknya masing-masing, mereka kompak menjemur remahan tembakau di tanah lapang atau depan rumah..





Budget :
Tiket KA Tawang Jaya Rp. 45.000
Tarif Bus dari Stasiun Tawang Jaya ke Terminal Terboyo Rp. 7.000
Tarif Bus dari Terminal Terboyo ke Wonosobo Rp. 25.000


Pulangnya, jalan-jalan dulu :






Mampir ke MCd, makan kenyang, nyam nyammm…




Apa sihhh, haduuhh, (kepala kuyup diguyur aerr)
Ternyata, kami bangun dari lelap tidur panjang..

(Di laptop, sudah tersaji cerita hiking ke Gunung Sumbing)

1 komentar: