Menceritakan perjalanan yang telah 3
bulan dijalani butuh daya ingat yang kuat. Mencoba masuk kembali ke dalam perasaan
ketika itu untuk menceritakannya kembali kepada publik melalui blog ini, kami
berempat duduk manis depan laptop di sebuah ruangan dalam rumah, hirup nafas
dalam-dalam sambil memejamkan mata :
Satu, dua, dan tiga…
Jumat, dua puluh sembilan agustus
2014, kami berangkat dari rumah masing-masing menuju Stasiun Senen sebagai
titik kumpul pukul 05.00 pagi. Tiga di antara kami menampakkan muka sebelum
pukul 05.45, artinya 25 menit lagi kereta menuju Stasiun Tawang Semarang akan
berangkat. Sepuluh menit kemudian, (karena keretanya telah datang) kami masuk
ke ruang tunggu dalam Stasiun. Perasaan was-was dengan mimik 3 muka orang
sekaligus : cemas, heran, dan maklum.
Sebelumnya, perkenalkan kami berempat
yang berencana hiking ke Gunung Sumbing Jawa Tengah ialah Sydiq, Bani, Eko, dan
Erdy. Berempat sudah kenal lama, tahu kebiasaan dan biasa ketahuan. Kedudukan sosial
kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang nama kami. Sekali
lagi, kedudukan sosial kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di
belakang nama kami. Hal tersebut perlu kami tekankan, mengapa? Salah satu
ukuran mengukur predikat kesarjanaan tersebut adalah manajemen –dalam hal ini,
manajemen waktu-.
Erdy dengan mimik cemasnya, Sydiq
dengan mimik herannya, dan Bani dengan mimik maklumnya. Yah, jadi ketahuan deh
Sarjana Ekonomi yang manajemen waktunya dapet nilai E : Eko. Pukul 06.05 WIB,
kami menunggu di pagar pembatas (layaknya film-film) lalu oleh petugas diminta
masuk ke dalam kereta, kami pun harus meninggalkan Eko, Kereta Api Ekonomi
Tawang Jaya pun berangkat. Dalam perjalanan, kami terus berkomunikasi dengan
Eko dan menyarankan menyusul menggunakan pesawat dari Bandara Halim
Perdanakusumah. Komunikasi pun berlangsung misterius, karena berlangsung satu
arah seolah-olah kami bertiga pingin bingit die ikut.. (Uek)
Tiba di Stasiun Tawang Jaya pukul
13.30 WIB, berharap Eko akan menyambut kedatangan kami (ya elah, die
ketinggalan keleuss). Kami bertiga makan di dekat Stasiun, komunikasi dengan
Eko menemukan hasil. Ia berangkat pukul 14.00 menggunakan pesawat dari Bandara
Soekarno Hatta menuju Semarang. Kereeeennnn…. Kami janjian di Terminal Terboyo,
Semarang. Dari Stasiun Tawang ke Terminal Terboyo menggunakan bus dengan biaya
Rp. 7000/org, sementara Eko entah naik apa.
Di Terminal Terboyo, detik-detik
mengharukan terjadi. Kami berempat saling mencari, berteriak nama satu sama
lain, dan akhirnya ketemu, dah. (oi penulis, dimane mengharukannye? cerita lu
datar anjrit..)
Tidak lama bincang sapa, bus tujuan
Wonosobo pun muncul dan kami melangkah dengan pasti menaikinya. Kini, kami komplit,
berempat! Perjalanan memakan waktu 3-4 jam, beberapa kali kami tertidur, dan di
sebuah pemberhentian (saat sudah malam), kami hendak makan, siapa sangka bus
juga akan segera jalan, kami batal makan, apa hendak dikata. Kami saran untuk
anda yang menggunakan bus terminal terboyo menuju wonosobo untuk siapkan
cemilan atau makanan. Sopir dan kenek bus tersebut akan menegaskan kembali
tujuan anda kemana : Gunung Sindoro atau Gunung Sumbing? Karena dua gunung
tersebut yang berdekatan, namun lokasi basecamp yang berbeda dan agak jauh
membuat kenek menanyakan kembali kepada kami saat perjalanan sudah mendekati
lokasi.
Kami tiba sekitar pukul 21.00 WIB dan
masih harus berjalan kaki 500m untuk lapor diri di basecamp pos pendaftaran
Gunung Sumbing. Beberapa pendaki yang ingin mendaki terlihat di situ, jumlahnya
tidak banyak. Kami sempatkan packing ulang dan mempersiapkan diri, sementara
Sydiq mendaftarkan data kami berempat. Petugas meminta kami untuk membawa
minuman minimal 2 botol 1 liter per orang karena pendaki tidak akan menemukan
sumber air selain membawanya dari bawah.
Setelah siap dan berdoa, perjalanan
dimulai. Waktu sudah larut, jam di tangan menunjukkan pukul 22.30 WIB. Ditemani
bintang yang terang di langit, kami menyusuri jalanan rapih bebatuan yang cukup
dilintasi 1 buah mobil. Sisi kiri dan kanan adalah perkebunan warga sekitar
Dusun. Perjalanan kami seperti tidak sampai-sampai, langkah demi langkah yang
kami jejakkan, seperti melambat di tengah kegelapan. Sebabnya satu : Sydiq yang
semakin gemuk.
Pukul 01.45 WIB, kami sampai di POS I.
Kami putuskan mendirikan tenda untuk tidur menunggu pagi. Semua lelap tidur
dalam dingin yang merasuk dari kaki hingga ke sukma (opo coba..) Pagi
memanggil, kami satu per satu bangun. Tidak lama dari bangun, kami –tanpa sarapan-
langsung gegas melanjutkan perjalanan. Erdy dan Sydiq jalan lebih dahulu,
sementara Bani dan Eko membereskan tenda dan akan menyusul.
Waktu tempuh perjalanan POS I ke POS 2
dicapai dalam ± 2 jam dengan track yang kecil sedikit menanjak dan tanah. Di
beberapa titik, kami menemukan jalan bercabang, namun sebetulnya akan mencapai
satu titik yang sama. Kami berempat bertemu di POS 2. Di pos ini, kami
sempatkan makan mie untuk mengisi perut dan menyisakan air minum 1 liter di
tempat tersembunyi untuk logistik turun kemudian.
Perjalanan berat sesungguhnya ada di
POS 2 ke POS 3. Kami dijejali track menanjak penuh pasir berdebu. Musim kemarau
yang berkepanjangan membuat panas dan debu menjadi teman yang baik untuk kami
selama mendaki Gunung Sumbing. Beberapa kali, eh sering deh, lutut kami dekat
sekali dengan hidung. Track yang sama untuk naik dan turun membuat jalur ini
harus dilalui bergiliran karena menghindari debu. Sampai di titik track penuh
pasir ini selesai, kami berisitirahat menurunkan carriel-carriel kami. Wajah
kotor dan sedikit noda hitam semakin memeriahkan pendakian ini. Dari titik
tempat kami beristirahat, tidak memakan waktu yang lama sampai di POS III.
Kami memilih melanjutkan perjalanan
untuk sampai di POS PESTAN. Setibanya kami disana, kami mendirikan tenda siang
hari bolong. Diskusi pemikir alam digelar di tenda berkapasitas 4 orang ini.
Temanya membahas kelanjutan perjalanan pendakian ini. Rencana awal kami adalah
tiba di Puncak Gunung Sumbing sore hari, lalu melanjutkan perjalanan pendakian
ke Gunung Prau. Namun, rencana tinggal rencana, keterbatasan fisik dan
kebersamaan menjadi pertimbangan dalam memutuskan : siang ini sampai minggu
dini hari menyerap energy alam alias tidur.
Nah, di sore harinya kami bangun dan
keluar tenda untuk foto-foto dengan view yang indah dipandang. Secara
bergantian, kami saling foto dan minta tolong pendaki lain mengambil foto kami.
Tidak habis pikir, muncul dari tenda kami, seorang PNS pakai peci berseragam
KORPRI lari-larian minta difoto! #miring
Pukul 02.00 WIB, kami bangun dan
melanjutkan perjalanan tanpa carriel yang kami tinggal dalam tenda. Dengan
bekal senter dan tameng baju hangat, kami melangkah. Tanpa carriel, aseli
rasanya kok beda betul dengan mendaki pakai carriel. Ini fakta yang susah
dijelaskan, yang hanya bisa dirasakan.. Perjalanan kami agak lebih cepat dari
saat membawa carriel. Kami tidak lagi menemukan track tanah yang di sisi kanan
dan kiri pepohonan, kali ini track dipenuhi batu-batu besar, khususnya selepas
Pos Pasar Watu.
Kami sampai di Puncak Buntu Gunung
Sumbing 3371 mdpl pukul 06.30 WIB. Rasa lelah kami terbayar dengan indahnya pemandangan.
Seksinya Gunung Sindoro dan geliat goda Gunung Slamet menepis keluh kami.
Beberapa ucapan terlintas di kepala kami sebagai bukti jalinan persaudaraan
tetap kekal tidak tertinggal di track terjal. Bani, sang pecinta wanita memulai
rangkaian pesannya dengan beberapa jepretan foto. Diiringi beberapa rekam
backsong di ingatan, kisah Bani mendaki dengan segudang harapan akhir penantian
panjang cintanya digambarkan di cerita ini :
Kami menemukan energi puncak Sumbing
saat perjalanan turun, kecuali Sydiq. Kami berlarian, melompat ke sisi kiri dan
kanan dengan pijakan kaki yang kuat, senang dan bahagia mengiringi. Dari POS
PASAR WATU, track ternyata adalah tanah merah lapang dengan di satu sisi jalan
bebatuan. Dengan hati-hati, kami tetap sedikit berlari dan sesekali menjatuhkan
diri layaknya pemain film action. Bertahap sampai tenda yaitu Bani, Eko, Erdy,
dan …… Sydiq.
Di tenda, kami kehabisan air minum.
Beruntung, ada pendaki yang dengan ikhlasnya memberikan air minum sebagai
amunisi kami di perjalanan turun. Kami turun pukul ± 12.00 siang dan harus
melalui track tanah pasir penuh debu. Beberapa kali kami sengaja tempelkan
pantat untuk merosot supaya lebih cepat sampai. Hahahaaa..
Tidak terasa, turun lebih cepat
daripada naik (ya iyalah..) Kami sampai di POS I sore hari. Terbentang di mata
kami, perjalanan POS I ke Basecamp kan jauh masih panjang. Dan, beberapa
pendaki yang sampai di POS I, memilih naik ojek trail untuk sampai di basecamp.
Dilema menghampiri kami : NAIK OJEK atau JALAN KAKI.. Sebagai pendaki laki-laki,
kami malu memiliki pemikiran untuk menyelesaikan pendakian dengan cara naik
ojek. Hufhh… Mungkin, kami lelah..
Kami sampai di Basecamp pukul 18.00
WIB tepat adzan berkumandang. Bergantian, kami bersih-bersih (tidak mandi) dan
makan nasi rames yang seperti lama tidak kami jumpai. Dalam bincang santap malam
ini, kami heran : “Mengapa kami bisa mendaki Gunung Sumbing ya? Dengan track
dan kemarau yang sedang menetap...”
Di titik ini, kami sebut keheranan ini dengan Panggilan Semesta.
Terima kasih, semesta..
Senin pagi hari 1 September 2014, menyusuri Desa Garung, seluruh penduduknya sepertinya
dipekerjakan salah satu produsen rokok karena secara serempak dan sesuai
kelompoknya masing-masing, mereka kompak menjemur remahan tembakau di tanah
lapang atau depan rumah..
Budget :
Tiket KA Tawang Jaya Rp. 45.000
Tarif Bus dari Stasiun Tawang Jaya ke Terminal Terboyo Rp. 7.000
Tarif Bus dari Terminal Terboyo ke Wonosobo Rp. 25.000
Mampir ke MCd, makan kenyang, nyam
nyammm…
Apa sihhh, haduuhh, (kepala
kuyup diguyur aerr)
Ternyata, kami bangun dari
lelap tidur panjang..
(Di laptop, sudah tersaji
cerita hiking ke Gunung Sumbing)
Bangun minn.. Hhaha
BalasHapus