Selasa, 30 Desember 2014

REFLEKSI AKHIR TAHUN

Dua ribu empat belas berakhir, namun tidak untuk kami, untuk Arnacala Indonesia : perjalanan baru saja dimulai. Seperti baru kemarin, saat kami memulai semuanya : merintis sebuah komunitas dimana orangtua dapat menitipkan anaknya berpetualang dengan tenang. Entah, alasan apa semesta mempersatukan kami : saya, kamu, dia, dan mereka. Rasa heran ini tidak pernah benar-benar terjawab, setidaknya sampai tanda baca titik di depan. (Mungkin) bisa jadi, karena kami adalah orang-orang pilihan semesta..

Perjalanan kami, bukan tanpa cela. Didirikan tanggal tiga belas januari dua ribu empat belas, komunitas ini nekat turun gelanggang, tanpa visi dan arah kemana hendak pergi. Sampai pada lima belas nopember lalu, pijakan kaki dibuat, untuk memastikan kami berjalan pada rel konstitusi yang benar. Sebuah konstitusi elastis tak mengikat yang diberi nama PERATURAN ARNACALA (PERNACALA) akan memedomani setiap petualang Arnacala Indonesia.

Musyawarah Besar (Mubes) nan sederhana di sebuah kos daerah utan kayu raya itu berlangsung khidmat. Sembari menyantap gorengan hasil patungan, satu per satu tahapan agenda mubes dilalui, hingga pada akhirnya pemilihan Badan Pengurus Harian (BPH) periode satu tahun ke depan dimenangkan oleh Assydiq DP (Ketua Umum), Daniel Darwis (Sekretaris), dan Chely Marcelina (Bendahara). Satu langkah maju ke depan, berhasil diselenggarakan, dimana setiap orang di antara kami mengeluarkan pandangan bebas tanpa tekanan. Karena melalui proses dua arah (saling mendengar) seperti inilah, komunitas ini akan dibangun.

Sudah tujuh ekspedisi dilaksanakan sepanjang tahun 2014 : Ekspedisi Jejak Rimba (EJR) Gunung Gede, Ekspedisi Lintas Batas (ELB) Gunung Cikuray, Ekspedisi Abu Vulkanik (EAV) 1, 2, & 3 Gunung Semeru, Ekspedisi Pulau Semak Daun, dan Ekspedisi Caving Goa Buniayu. Seluruh ekspedisi tersebut telah mempersatukan kami secara utuh, tidak terpotong-potong pada bagian tertentu. Sekali di bulan Ramadhan, kami gelar Buka Bersama Keluarga Arnacala, bertempat di Cisauk Tangerang, rumah salah satu anggota terjauh. Saat itu, canda tawa tanpa batas yang keluar dari mulut sesekali sembari mengunyah gorengan dengan cocolan sambal pedas begitu cair dan hangat, sungguh tak terlupakan.


Perkembangan zaman mendorong kami pada teknik-teknik pemasaran modern yaitu pendekatan sosial media : email, facebook, twitter, path, instagram, dan blogspot. Akun sosial media Arnacala Indonesia dapat anda temui sbb :
Email              : arnacala.indonesia@gmail.com
Facebook        : Arnacala / arnacala.indonesia@gmail.com
Twitter            : @arnacala_ina
Path                : Arnacala Indonesia
Instagram       : Arnacala_Indonesia
Blog               : arnacala-indonesia.blogspot.com


Sejak mubes diselenggarakan, dimana arah dan visi Arnacala Indonesia sudah didapat, maka tugas tim kreatif mengampanyekan komunitas ini juga lebih terarah dilakukan. Sebagaimana dapat dilihat jumlah followers di facebook, twitter, path, dan instagram meningkat pesat dibanding sebelum mubes diselenggarakan.

Pengaruh sosial media terhadap khalayak yang ingin bergabung dalam Arnacala Indonesia, juga berpengaruh, meski masih dalam skala kecil. Maka, sesuai prinsip keterbukaan yang kami tanamkan, jumlah anggota Arnacala Indonesia terus bertambah : si cantik, si tampan, si putih, si hitam, si mampu, si tak mampu, si pekerja, si penganggur, dan beragam latar belakang lainnya. Semesta berusaha menyingkirkan kekakuan hubungan manusia dalam sebuah komunitas : Arnacala Indonesia.

Sebagaimana lainnya, sebagai komunitas baru, banyak pengharapan baik sekiranya datang menghampiri di tahun 2015. Salah satu prioritas kami ialah bagaimana membangun sistem yang baik untuk komunitas yang lebih baik di masa datang. Di sisi lain, kami begitu mencermati kritik untuk pecinta alam yang ditulis oleh Ahyar Stone di kompasiana (http://edukasi.kompasiana.com/2014/10/31/revolusi-mental-pecinta-alam-688732.html). 

Begitu dalam dan mengena, ditulis dari kondisi nyata di lapangan. Sekarang ini, yang bisa kami lakukan adalah menumbuhkan kecintaan anak muda terhadap kekayaan alam Indonesia. Untuk berikutnya, kami dorong tindakan kecil bermakna besar, yang semuanya masih dalam kerangka kecintaan kami terhadap alam Indonesia.

Untuk itu, terima kasih kepada semua pihak atas dukungannya terhadap kegiatan-kegiatan Arnacala Indonesia. Permohonan maaf apabila dalam perjalanan mengenal kalian satu dengan yang lain, terdapat kata atau perbuatan yang kurang berkenan. Sungguh, komunitas ini diisi oleh manusia-manusia penuh salah, namun percayalah memiliki mimpi tinggi untuk Indonesia..

Selamat Tahun Baru 2015, petualang!


Informasi :
Di tahun yang baru, kegiatan pertama di tahun 2015, Arnacala Indonesia akan mengadakan syukuran atas Hari Jadi-nya ke-1, diselenggarakan di Panti Asuhan Nurul Iman Zapariyah, beralamat di Jalan Menteng Jaya Nomor 11 RT 001 RW 010, Jakarta Pusat. Kami membuka partisipasi seluas-luasnya kepada seluruh kerabat/rekan memberikan sedikit donasinya melalui rekening BRI 2046-01-002870-50-4 atas nama Fauzan Tirta Pratama. Pertimbangan kesederhanaan atas rasa syukur kami akan perjalanan Arnacala Indonesia selama 1 tahun belakangan, menggiring kami berbagi kebahagiaan bersama anak yatim.


Minggu, 21 Desember 2014

Terima Kasih Ibu..

Esok, ketika langit terang, ia tidak berubah, sama seperti dulu : membangunkan aku, dimana saat selesai mandi, sarapan pagi telah tersedia. Sore hari, ia pun masih sama : menunggu di pintu depan rumah menyambut rasa letihku dengan senyuman penuh kasih. Berhari-hari, berminggu-minggu, dan bertahun-tahun, sampai aku dapat tumbuh menjadi seperti sekarang ini adalah tak lepas dari campur tangannya. Sisi hidupku yang minus, (sungguh), sepenuhnya adalah kelalaian karena ku tidak mematuhinya. Sesal datang kemudian..

Ia mengenalkanku pada banyak hal : pada semesta, untuk mengetahui hidup di dunia tidak sendiri. Pernah suatu hari, di hari Sabtu puluhan tahun lalu, aku dan ia bermain bersama di salah satu taman kampung tempat kami tinggal. Tak sekali, setiap pagi dan sore hari, ia menuntunku dengan tangan kiri, bersenda gurau di bawah pohon teduh hijau nan asri. Dari bibirnya yang tak kenal lelah menasihatiku, aku ingat satu hal yang aku yakini sampai kini (mungkin hingga mati), membawaku pada komunitas ini (Arnacala Indonesia). Di depan kedua mataku, ia sampaikan dengan teladan nyata : buang sampah ini pada tempatnya..

Sungguh, di kesempatan bahagia ini, aku tidak ingin larut menjelaskan hubungan seorang Ibu dengan kecintaanku pada alam negara ini, Indonesia. Karena : aku meyakini di setiap pencapaianku, (aku ulangi) di setiap pencapaianku, selalu tersirat doa dan harapan baiknya padaku. Dari caranya melepasku di setiap petualanganku, aku belajar meredam kegelisahannya. Dari harapan baiknya padaku, aku belajar memenuhi keinginannya : menjadi seorang patriot yang tumbuh bukan dari slogan-slogan, melainkan tumbuh dari mengenal Indonesia dengan alamnya.


Maafkan aku, untuk kealpaanku di setiap petualanganku, karena ku lebih mengingat ucapanku untuk kekasih dan teman-temanku. Sekali lagi, aku mohon restu simbah sujud di kakimu pada malam ini, maafkan atas kesalahan-kesalahanku. Betapapun besar dan hebat pemberianku padamu, tidak akan pernah dapat menggantikan darah yang pernah kau tumpahkan saat melahirkanku, tidak akan pernah mampu membalas air susumu yang telah mengalir di darahku.

Entah bagaimana, aku membalas semua ini, hanya surga yang pantas untukmu nanti..


Terima Kasih Ibu..

Buatku, Ibu adalah pekerjaan terbaik di semesta..

Minggu, 14 Desember 2014

TRIP : CIKURAY MOUNTAIN!

Perjalanan kami di semester pertama di 2014 ditutup dengan melakukan pendakian ke Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat, yang memiliki ketinggian 2845 mdpl. Sepenuhnya, kami sadari, pendakian ini ialah panggilan semesta mensyukuri HUT DKI Jakarta yang jatuh setiap tanggal 22 Juni, dengan cara berbeda : yaitu cara manusia mencintai tanah airnya. Seperti sudah menjadi rumus yang tak dapat dipecahkan : sesering kami turun gunung, sesering itu juga kami hendak kembali mendaki. (red : pendakian ini berjarak 2 bulan dari pendakian kami -ekspedisi jejak rimba- ke Gunung Gede).

Jumat, 20 Juni 2014, di Pom Bensin Shell depan Giant Bekasi, kami sepakat bertemu dan berangkat dari lokasi tersebut. Planning awalnya, kami berangkat menggunakan tronton pukul 22.00 WIB, namun berubah menyesuaikan keadaan yakni menggunakan angkot dan berangkat pukul 23.00 WIB. Perubahan waktu dapat dimengerti oleh semua anggota rombongan karena masih harus menunggu 2 rekan yang mengikuti mata kuliah di kampusnya terlebih dahulu. Yang mengherankan ialah perubahan akomodasi dari tronton menggunakan angkot, beberapa di antaranya mengucek mata berkali-kali dan akhirnya sadar : “Oh, ini toh trontonnya Bekasi (sekali lagi, Bekasi)..”. Rupanya ini angkot fenomenal, sudah terbiasa disewa untuk perjalanan pendakian khususnya rute Jakarta – Garut (Papandayan/Cikuray). Nah, di rest area Cipularang, kami bertemu pendaki lain (ke Gn. Papandayan) yang menggunakan angkot yang satu grup dengan angkot kami.

Sampai di Garut, wilayah sebelum masuk kawasan Gunung Cikuray, pukul 04.00 dini hari, kami sempatkan rebahan, makan, dan shalat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Dari sini (masih naik angkot) menuju kaki Gunung Cikuray, perjalanan dilanjutkan dengan track yang penuh kelok dan berbatu. Beruntung, sopir angkot yang kami sewa sudah terbiasa sehingga kami tinggal duduk manis. Bagi kalian yang telah berada di pertigaan kebun teh, dapat naik ojek atau menyewa angkot/pick-up karena jarak menuju basecamp (pos pendaftaran) masih sangat jauh. Informasi yang kami dapat, jangan mudah percaya dengan angkot/pick-up daerah sana yang menawarkan akan mengantar sampai basecamp, karena beberapa dikerjai hanya diantar sampai perbatasan kebun. Memasuki kebun teh, kami dimintai retribusi  Rp. 3000/org, dan waah kami disuguhi asri dan hijaunya perkebunan.

Basecamp Gunung Cikuray (Pemancar)

Basecamp / pos pendaftaran tampak berbeda dari pos pendaftaran di gunung lain, setidaknya dari tempat yang telah kami singgahi. Sekiranya Pemerintah setempat dapat lebih memperhatikan bangunan ini untuk dapat dinikmati para pendaki yang bisa berasal dari luar negeri. Dari kejauhan, kalian akan melihat banyak tiang pemancar, itu artinya kalian sudah semakin dekat dengan pos pendaftaran. Di sini, kalian harus mendaftarkan nama rombongan yang melakukan pendakian. Kami pun ikut mendaftarkan nama-nama : Daniel, Nanda, Susan, Beta, Dety, Rubby, Rajif, Eko, Bani, Sydiq, dan Alpath. Sebelas orang dengan rincian 8 laki-laki dan 3 perempuan (perlu dijelaskan karena nama Nanda ambigu kan? Pasti deh..)

Sekilas gunung ini nampak dekat dan mudah didaki, apalagi yang biasa mendaki di atas 3000 mdpl, kemungkinan perasaannya akan meninggi (mendekati belagu-lah kalau orang betawi bilang). Nah, perasaan itu harus dihilangkan buru-buru, nanti kaget. Ternyata, tracknya nanjak terus, engga ada bonusnya. Gaya dengkul ketemu dagu pun tak terhindarkan. Perjalanan dari basecamp ke POS I sekitar 60 menit dan POS I ke POS 2 dengan waktu tempuh yang sama.

Di POS 2 terdapat sumber mata air dari pipa yang sedikit berlubang. Di tengah perjalanan POS 2 ke POS 3, kami tersadar persediaan air telah habis, sementara perjalanan masih panjang ditambah masih harus turun kembali. Beberapa di antara kami (3 orang) turun kembali ambil air. Saat itu, khususnya yang perempuan sudah haus tak tertahankan lagi. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang. Bani datang dari kejauhan dengan membawa beberapa botol minum air, dan kami menyambutnya dengan antusias.


“Air, air, air….” teriak beberapa orang. Dan, alangkah terkejutnya kami saat melihat botol tersebut : ENGGA ADA AER-nye. Dengan keadaan menahan haus (perut geruk geruk, bibir kering, dan tenggorokan penuh harap), kami harus sedikit tertawa melihat tingkah Bani, yang ternyata selama perjalanan turun, dia pungut sampah-sampah botol dan dibawanya naik diantar ke kami yang menunggu air. Pertanyaannya : “Kenapa elu kagak sekalian isi aer tuh botol??”. Kami tempuh perjalanan dari POS 2 ke POS 3 sekitar 105 menit.


Di POS 4, hujan turun. Kami mendirikan fly sheet untuk berteduh dan mempersiapkan jas hujan. Tak kunjung reda, beberapa orang memutuskan melanjutkan perjalanan karena diam semakin mendinginkan tubuh, seperti diam seorang perempuan yang bisa mendinginkan suasana malam (hahaa..). Di tengah perjalanan, hujan semakin deras dan track pun dialiri air. Kami putuskan untuk mendirikan tenda sembari menunggu rombongan lain yang berada di belakang. Nanda (pria), datang menyusul, memberitahukan rombongan yang masih di bawah, juga sudah mendirikan tenda di POS 5 dan tidak dapat menyusul ke atas karena kondisi tidak memungkinkan.

Dari tenda rombongan di atas, jumlah orang dengan kapasitas tenda ternyata over capacity. Rekan kami, Alpath, menawarkan pengorbanan untuk tidur di luar, sementara Bani (adiknya.. eh kakaknya apa adiknya ya?) juga mengajukan diri menawarkan pengorbanan. Dengan berbekal bantal, jaket, & sleeping bag, mereka berdua pun tidur pulas di luar tenda. Pagi hari, kami dikejutkan oleh sosok misterius yang entah kapan, berada di kaki-kaki kami. Dengan terus mengucap doa, kami secara perlahan bangun dan membuka ruang untuk melihat ada apa gerangan. Dan, ternyata, sekali lagi, Bani membuat kami senyum kecil nan kecut, dirinya menyempil di antara sleeping bag kami karena kedinginan. Kemarin malam siapa yang mengajukan diri yaghh.. hufh..

Eko dan Alpath pun bangun dan mengambil konsumsi dari tenda bawah. Sekembalinya, rupanya tenda ditutup. Kemungkinan mereka memilih tidur kembali. Dengan nada bercanda, kami goda tidur mereka dengan menakut-nakuti mereka kalau makanan akan kami habiskan. Namun, ternyata engga bangun-bangun, penasaran pun hinggap, ada apa?

 

Sreeeett, kami buka tenda dan pantessss. Dari lima orang yang bangun tadi, 3 orang memilih naik duluan, dan tinggal 2 orang tidur puless. Setelah menunggu rombongan dari bawah, kami gegas menuju Puncak yang informasinya sudah dekat (padahal masih 2 jam-an). Pukul 11.00 siang, kami –Arnacala Indonesia- pun tiba di Puncak Gunung Cikuray. Pemandangan dari sini, sungguh indah, dan tak lupa kami foto donksss..


Dua jam kami di Puncak, lalu perjalanan pulang pun dimulai. Sepanjang turun gunung, kami kompak bercanda dan tertawa, ampuh menghilangkan lelah. Di tengah turun, hujan kembali mengguyur. Kami berhenti di POS 2, karena maghrib dan Dety pun kedinginan. Semua berkumpul ngariung untuk saling menghangatkan, sayang engga ada yang muter lagu Meteor Garden, padahal momennya pas nih..


Di saat ngarepin ada lagu yang feel-nya pas dengan perjalanan, yang ada kejadian aneh menimpa kami. Dari ditimpuk, dilihatin, dengar suara tangisan, sampe ditabrak.. Elu bayangin dah, ditabrak! Kami menyarankan untuk tidak melewati POS 2 selepas maghrib. Namun, semesta menuntun kami dari hal-hal yang tidak diinginkan. Cerita yang seolah-olah mistis (Bani si pengambil botol tanpa air dan penyelinap tidur di antara sleeping bag lalu Eko & Alpath menggoda bangun anggota di tenda yang kosong) ditutup dengan cerita yang benar-benar mistis sampai membuat bulu kuduk merinding. Sebuah pembelajaran baru didapat.. 


Minggu, 22 Juni 2014 pukul 19.30, kami sampai di basecamp. Sempatkan bersih-bersih, kami turun pukul 21.00 dengan angkot yang setia menunggu. Sampe di Bekasi hari Senin, 23 Juni pukul 05.00 pagi.. 

Terima kasih, semesta..


Budget :
Angkot (PP setia menunggu) Rp. 160.000/org
Retribusi kebun teh Rp. 3000/org
Sumbangan basecamp seikhlasnya (Rp. 5000)
Makan sebelum naik dan setelah turun gunung (Rp. 30.000)



Kamis, 11 Desember 2014

TRIP : SUMBING MOUNTAIN!

Menceritakan perjalanan yang telah 3 bulan dijalani butuh daya ingat yang kuat. Mencoba masuk kembali ke dalam perasaan ketika itu untuk menceritakannya kembali kepada publik melalui blog ini, kami berempat duduk manis depan laptop di sebuah ruangan dalam rumah, hirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata :


Satu, dua, dan tiga…




Jumat, dua puluh sembilan agustus 2014, kami berangkat dari rumah masing-masing menuju Stasiun Senen sebagai titik kumpul pukul 05.00 pagi. Tiga di antara kami menampakkan muka sebelum pukul 05.45, artinya 25 menit lagi kereta menuju Stasiun Tawang Semarang akan berangkat. Sepuluh menit kemudian, (karena keretanya telah datang) kami masuk ke ruang tunggu dalam Stasiun. Perasaan was-was dengan mimik 3 muka orang sekaligus : cemas, heran, dan maklum.

Sebelumnya, perkenalkan kami berempat yang berencana hiking ke Gunung Sumbing Jawa Tengah ialah Sydiq, Bani, Eko, dan Erdy. Berempat sudah kenal lama, tahu kebiasaan dan biasa ketahuan. Kedudukan sosial kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang nama kami. Sekali lagi, kedudukan sosial kami sama : pria dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang nama kami. Hal tersebut perlu kami tekankan, mengapa? Salah satu ukuran mengukur predikat kesarjanaan tersebut adalah manajemen –dalam hal ini, manajemen waktu-.

Erdy dengan mimik cemasnya, Sydiq dengan mimik herannya, dan Bani dengan mimik maklumnya. Yah, jadi ketahuan deh Sarjana Ekonomi yang manajemen waktunya dapet nilai E : Eko. Pukul 06.05 WIB, kami menunggu di pagar pembatas (layaknya film-film) lalu oleh petugas diminta masuk ke dalam kereta, kami pun harus meninggalkan Eko, Kereta Api Ekonomi Tawang Jaya pun berangkat. Dalam perjalanan, kami terus berkomunikasi dengan Eko dan menyarankan menyusul menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusumah. Komunikasi pun berlangsung misterius, karena berlangsung satu arah seolah-olah kami bertiga pingin bingit die ikut.. (Uek)

Tiba di Stasiun Tawang Jaya pukul 13.30 WIB, berharap Eko akan menyambut kedatangan kami (ya elah, die ketinggalan keleuss). Kami bertiga makan di dekat Stasiun, komunikasi dengan Eko menemukan hasil. Ia berangkat pukul 14.00 menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Semarang. Kereeeennnn…. Kami janjian di Terminal Terboyo, Semarang. Dari Stasiun Tawang ke Terminal Terboyo menggunakan bus dengan biaya Rp. 7000/org, sementara Eko entah naik apa.

Di Terminal Terboyo, detik-detik mengharukan terjadi. Kami berempat saling mencari, berteriak nama satu sama lain, dan akhirnya ketemu, dah. (oi penulis, dimane mengharukannye? cerita lu datar anjrit..)

Tidak lama bincang sapa, bus tujuan Wonosobo pun muncul dan kami melangkah dengan pasti menaikinya. Kini, kami komplit, berempat! Perjalanan memakan waktu 3-4 jam, beberapa kali kami tertidur, dan di sebuah pemberhentian (saat sudah malam), kami hendak makan, siapa sangka bus juga akan segera jalan, kami batal makan, apa hendak dikata. Kami saran untuk anda yang menggunakan bus terminal terboyo menuju wonosobo untuk siapkan cemilan atau makanan. Sopir dan kenek bus tersebut akan menegaskan kembali tujuan anda kemana : Gunung Sindoro atau Gunung Sumbing? Karena dua gunung tersebut yang berdekatan, namun lokasi basecamp yang berbeda dan agak jauh membuat kenek menanyakan kembali kepada kami saat perjalanan sudah mendekati lokasi.

Kami tiba sekitar pukul 21.00 WIB dan masih harus berjalan kaki 500m untuk lapor diri di basecamp pos pendaftaran Gunung Sumbing. Beberapa pendaki yang ingin mendaki terlihat di situ, jumlahnya tidak banyak. Kami sempatkan packing ulang dan mempersiapkan diri, sementara Sydiq mendaftarkan data kami berempat. Petugas meminta kami untuk membawa minuman minimal 2 botol 1 liter per orang karena pendaki tidak akan menemukan sumber air selain membawanya dari bawah.





Setelah siap dan berdoa, perjalanan dimulai. Waktu sudah larut, jam di tangan menunjukkan pukul 22.30 WIB. Ditemani bintang yang terang di langit, kami menyusuri jalanan rapih bebatuan yang cukup dilintasi 1 buah mobil. Sisi kiri dan kanan adalah perkebunan warga sekitar Dusun. Perjalanan kami seperti tidak sampai-sampai, langkah demi langkah yang kami jejakkan, seperti melambat di tengah kegelapan. Sebabnya satu : Sydiq yang semakin gemuk.

Pukul 01.45 WIB, kami sampai di POS I. Kami putuskan mendirikan tenda untuk tidur menunggu pagi. Semua lelap tidur dalam dingin yang merasuk dari kaki hingga ke sukma (opo coba..) Pagi memanggil, kami satu per satu bangun. Tidak lama dari bangun, kami –tanpa sarapan- langsung gegas melanjutkan perjalanan. Erdy dan Sydiq jalan lebih dahulu, sementara Bani dan Eko membereskan tenda dan akan menyusul.





Waktu tempuh perjalanan POS I ke POS 2 dicapai dalam ± 2 jam dengan track yang kecil sedikit menanjak dan tanah. Di beberapa titik, kami menemukan jalan bercabang, namun sebetulnya akan mencapai satu titik yang sama. Kami berempat bertemu di POS 2. Di pos ini, kami sempatkan makan mie untuk mengisi perut dan menyisakan air minum 1 liter di tempat tersembunyi untuk logistik turun kemudian.



Perjalanan berat sesungguhnya ada di POS 2 ke POS 3. Kami dijejali track menanjak penuh pasir berdebu. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat panas dan debu menjadi teman yang baik untuk kami selama mendaki Gunung Sumbing. Beberapa kali, eh sering deh, lutut kami dekat sekali dengan hidung. Track yang sama untuk naik dan turun membuat jalur ini harus dilalui bergiliran karena menghindari debu. Sampai di titik track penuh pasir ini selesai, kami berisitirahat menurunkan carriel-carriel kami. Wajah kotor dan sedikit noda hitam semakin memeriahkan pendakian ini. Dari titik tempat kami beristirahat, tidak memakan waktu yang lama sampai di POS III.





Kami memilih melanjutkan perjalanan untuk sampai di POS PESTAN. Setibanya kami disana, kami mendirikan tenda siang hari bolong. Diskusi pemikir alam digelar di tenda berkapasitas 4 orang ini. Temanya membahas kelanjutan perjalanan pendakian ini. Rencana awal kami adalah tiba di Puncak Gunung Sumbing sore hari, lalu melanjutkan perjalanan pendakian ke Gunung Prau. Namun, rencana tinggal rencana, keterbatasan fisik dan kebersamaan menjadi pertimbangan dalam memutuskan : siang ini sampai minggu dini hari menyerap energy alam alias tidur.

Nah, di sore harinya kami bangun dan keluar tenda untuk foto-foto dengan view yang indah dipandang. Secara bergantian, kami saling foto dan minta tolong pendaki lain mengambil foto kami. Tidak habis pikir, muncul dari tenda kami, seorang PNS pakai peci berseragam KORPRI lari-larian minta difoto! #miring



Pukul 02.00 WIB, kami bangun dan melanjutkan perjalanan tanpa carriel yang kami tinggal dalam tenda. Dengan bekal senter dan tameng baju hangat, kami melangkah. Tanpa carriel, aseli rasanya kok beda betul dengan mendaki pakai carriel. Ini fakta yang susah dijelaskan, yang hanya bisa dirasakan.. Perjalanan kami agak lebih cepat dari saat membawa carriel. Kami tidak lagi menemukan track tanah yang di sisi kanan dan kiri pepohonan, kali ini track dipenuhi batu-batu besar, khususnya selepas Pos Pasar Watu.

Kami sampai di Puncak Buntu Gunung Sumbing 3371 mdpl pukul 06.30 WIB. Rasa lelah kami terbayar dengan indahnya pemandangan. Seksinya Gunung Sindoro dan geliat goda Gunung Slamet menepis keluh kami. Beberapa ucapan terlintas di kepala kami sebagai bukti jalinan persaudaraan tetap kekal tidak tertinggal di track terjal. Bani, sang pecinta wanita memulai rangkaian pesannya dengan beberapa jepretan foto. Diiringi beberapa rekam backsong di ingatan, kisah Bani mendaki dengan segudang harapan akhir penantian panjang cintanya digambarkan di cerita ini :


Kami menemukan energi puncak Sumbing saat perjalanan turun, kecuali Sydiq. Kami berlarian, melompat ke sisi kiri dan kanan dengan pijakan kaki yang kuat, senang dan bahagia mengiringi. Dari POS PASAR WATU, track ternyata adalah tanah merah lapang dengan di satu sisi jalan bebatuan. Dengan hati-hati, kami tetap sedikit berlari dan sesekali menjatuhkan diri layaknya pemain film action. Bertahap sampai tenda yaitu Bani, Eko, Erdy, dan …… Sydiq.

Di tenda, kami kehabisan air minum. Beruntung, ada pendaki yang dengan ikhlasnya memberikan air minum sebagai amunisi kami di perjalanan turun. Kami turun pukul ± 12.00 siang dan harus melalui track tanah pasir penuh debu. Beberapa kali kami sengaja tempelkan pantat untuk merosot supaya lebih cepat sampai. Hahahaaa..

Tidak terasa, turun lebih cepat daripada naik (ya iyalah..) Kami sampai di POS I sore hari. Terbentang di mata kami, perjalanan POS I ke Basecamp kan jauh masih panjang. Dan, beberapa pendaki yang sampai di POS I, memilih naik ojek trail untuk sampai di basecamp. Dilema menghampiri kami : NAIK OJEK atau JALAN KAKI.. Sebagai pendaki laki-laki, kami malu memiliki pemikiran untuk menyelesaikan pendakian dengan cara naik ojek. Hufhh… Mungkin, kami lelah..

Kami sampai di Basecamp pukul 18.00 WIB tepat adzan berkumandang. Bergantian, kami bersih-bersih (tidak mandi) dan makan nasi rames yang seperti lama tidak kami jumpai. Dalam bincang santap malam ini, kami heran : “Mengapa kami bisa mendaki Gunung Sumbing ya? Dengan track dan kemarau yang sedang menetap...”
Di titik ini, kami sebut keheranan ini dengan Panggilan Semesta.
Terima kasih, semesta..

Senin pagi hari 1 September 2014, menyusuri Desa Garung, seluruh penduduknya sepertinya dipekerjakan salah satu produsen rokok karena secara serempak dan sesuai kelompoknya masing-masing, mereka kompak menjemur remahan tembakau di tanah lapang atau depan rumah..





Budget :
Tiket KA Tawang Jaya Rp. 45.000
Tarif Bus dari Stasiun Tawang Jaya ke Terminal Terboyo Rp. 7.000
Tarif Bus dari Terminal Terboyo ke Wonosobo Rp. 25.000


Pulangnya, jalan-jalan dulu :






Mampir ke MCd, makan kenyang, nyam nyammm…




Apa sihhh, haduuhh, (kepala kuyup diguyur aerr)
Ternyata, kami bangun dari lelap tidur panjang..

(Di laptop, sudah tersaji cerita hiking ke Gunung Sumbing)